Dalam Masa penantian /Advent ini Kita bisa check kehidupan Kita melalui tokoh2 yg memberitakan Natal...salah satunya Yohanes Pembaptis. Kemenarikkan Kita dengan tokoh ini seperti yang dikisahkan Yohanes 1:19-28 adalah seorang yg tidak berambisi menjadi besar (the great man) sekalipun kesempatan itu Ada Dan tidak Ada keinginan utk menjadi pusat perhatian orang, dia pribadi yang bersahaja Dan hanya menginginkan bisa menjalankan tugasnya sebagai orang yang berseru seru di padang gurun "luruskanlah jalan bagiNya"...hanya suara itu yg dia ingin orang lain ketahui ..
*Godaan manusia adalah INGIN MENJADI BESAR ,INGIN BERKUASA, bahkan utk itu memanipulasi, berbohong Dan melakukan hal2 APA saja untuk BERKUASA. Hal ini jauh dari Yohanes, dia dengan tegas mengatakan dirinya Bukan Media's,Bukan Elia,Bukan Nabi yang akan datang ...Yohanes bahkan menempatkan dirinya seorang tidak berkenan, tidak sesjajar bahkan dengan hamba sekalipun ...membuka Tali kasutNyapun aku tidak layak ..begitu katanya. Kita tahu kalau orang Yahudi Dan Farisi menempatkan dia sama dengan nabi, Elia ,bahkan Mesias maka sebenarnya dia seorang yang besar ...
Ada ya orang tidak tertarik kepada Kebesaran Dan Kekuasaan, apa sebabnya ??? panggilan Tuhan menempatkan dia sebagai orang yang mempersiapkan jalan Tuhan sudah cukup bagiNya. tertarik dengan panggilan ...đđđđ
*Godaan manusia adalah kemegahan /kesombongan . Kita dari kecil sudah dilatih untuk bersaing dalam kehidupan ini,jadi jiwanya jika Kita bisa memperoleh kekayaan, kepandaian, status,jabatan maka Kita sadar atau tidak merendahkan yang lain, ya karena kompetisi itu. Yohanes seorang yang humble, dia merasa bukan siapa siapa ,utusanNya kepada dirinya bukan diartikan bahwa dia special , tapi karena begitulah kehidupan dalam Tuhan mempunyai tugas .Tugas dijalankan saja, karenanya ketika ia membaptis Dan itu pekerjaan besar dari seorang yg besar (kalau kamu bukan siapa siapa kenapa membaptis ?) ,Tapi Yohanes mengartikan baptisan airnya adalah memanggil orang percaya kepada Mesias, kemudian Yohanes membandingkan bahwa karyanya tidak seberapa dibanding DIA ,anak domba yang akan hadir. Yohanes benar benar tidak tahu artinya sombong /memegahkan diri.
Dalam Masa Advent ini Mari Kita terus memacu diri bahwa yang Kita fokuskan adalah berkarya bagiNya melalui sesama ...apa panggilanmu? Kerjakan saja . Mari Kita berupaya bukan untuk dipuji atau dihormati orang,supaya Kita tulus memenuhi panggilan ,semua Kita lakukan karena Kita puas dengan panggilanNya (segala profesi Dan aktivitas hidup bagi sesama).
Mari bercermin seperti Yohanes Pembaptis : tidak berbohong,tidak sombong,setia panggilan , ...matikan keinginan BERKUASA /menguasai sesama ,matikan keinginan untuk dipuja puji ..
Biarlah menantiNya karena hanya DIA yang patut dimuliakan,sekarang dan selama lamanya đđđđđđselamat Advent đđđ
Misi Holistik :Dialog /keragaman Agama,Women, Sosial, Teologi...Mari Kerjasama Kedepan (interdenominasi dan antar agama) untuk Membangun Manusia seutuhnya.
Senin, 09 Desember 2019
Kamis, 11 Juli 2019
Perempuan dan âLiyanâ
âOne
is not born, but made a woman,â
adalah ungkapan filsuf Simone de Beauvoir yang menggambarkan kondisi perempuan
dalam societas, menurutnya perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia âdibuat
demikianâ oleh societasnya. Diskursus
filosofi Liyan tidak terpisahkan dari eksistensi perempuan karena dalam sejarah
peradaban manusia perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki, dipandang
protogonis dan diperlakukan sebagai antagonis. Perjalanan societas modern masih menempatkan
perempuan dalam dunia Liyan, dunia ketertindasan dan keterpurukan. Ratifikasi perundang-undangan kerap
menceburkan permpuan dalam kubangan ketidakpastian mengenai hak-hak atas tubuh
dan eksistensinya.
Wajah Liyan Sumiati
Dalam kasus penganiayaan Sumiati di
Saudi, kaki hampir lumpuh, muka sembab, bibir digunting, dll Ini menggambarkan Sumiati sebagai subyek yang
ingin dilenyapkan martabatnya. Filsuf
Hegel menegur, dikatakan setiap kesadaran manusia selalu mengharapkan kematian
Liyan (Other).
Situasi
komunitas kita /negri baru memandang Sumiati setelah babak belur, di negri
sendiri, TKI identik yang tersisihkan, karena keterampilan dan kemampuan mereka
bekerja tidak diperhatikan sehingga rentan terhadap penganiyaan. Sebenarnya situasi perempuan sudah lama ada
dalam keterkungkungan, pendidikan bukan hak mereka, mereka dianjurkan cepat
mencari laki-laki, kemudian menjadi pendamping laki-laki /suami, menjadi manusia yang tidak pernah mandiri,
manusia yang tergantung dan terikat, mereka berada di pinggiran kehidupan
sehari-hari. Belum lagi mereka rentan
terhadap kekerasan, manipulasi, perbudakan, penganiyaan dalam rumah tangga.
Narasi Shamelin
Narasi Shamelin juga narasi seorang
Liyan, seorang pembantu rumah tangga yang bergelantung dengan seutas tali dari
apartemen tinggi karena mendapat perlakuan yang tidak manusiawi jika ada
kesalahan dan haknya (gaji) tidak diberikan selama 5 bulan. Banyak kasus serupa
dalam wajah humanitas kita. Emmanuel Levinas mengingatkan prinsip etis
kehadiran manusia adalah sebagai subyek, tidak ada ruang /tenggang waktu
manusia diperlakuan sebagai obyek. Shamelin
adalah potret manusia Liyan yang tertindas.
Menggembok Kesadaran
Perempuan sebagai Liyan tidak saja
terjadi pada zaman Kartini, tetapi juga saat ini ketika dirinya âdigembokâ
dalam kungkungan kultur maskulinistik
Kartinilah simbol kebebasan, dimana ia meneriakkan kesadaran akan keterpurukkan
dari lubang keniscayaan adat istiadat.
Kartini dapat dikatakan pemicu kesadaran maju, kesadaran kebebasan. Dalam agama perlakuan perempuan sama saja,
perempuan malah diperlakukan dalam âperlindunganâ maskulinitas, agama malah
mundur dalam prinsip-prinsip kebebasan.
Simbolisme
gembok megidentifikasi seakan-akan perempuan nyaman, padahal perempuan sudah tereduksi
pada tubuhnya, dipersempit hanya yang menimbulkan nafsu (perempuan identik
dengan alat kelaminnya), sekalipun perempuan dilabelkan pekerja keras, namun
sehari-harinya mereka direndahkan, dipermalukan. Perempuan dalam kerja kerasnya diasosiakan
dengan kehinaan (derita TKW), goyangannya diasosiasikan dengan kepornoan,
kemolekkan tubuh dan kecantikan dilihat sebagai introduksi bahaya kriminalitas. Dimana subyektifitas perempuan?
âThe second sexâ
Liyan adalah the second sex. Perempuan
disebut demikian karena sex, ia berbeda tetapi juga dibedakan dari
laki-laki. The second sex disini bukan dalam pandangan perilaku seksual,
kategori sosial dalam peran fungsional kemasyarkatan, tetapi dalam kategori
ontologis keseharian dan transcendental sekaligus. Para filusuf banyak menempatkan perempuan
dalam mahluk yang menggembol beban seksual, bahkan perempuan masuk kategori
wilayah tidak jelas (tidak dipehitungkan dalam area maskulinitas). Plato menempatkan polis tidak ada dalam area
perempuan, perempuan bukan warga negara, polis identik dengan laki-laki,
perempuan ada dalam kerumunan para budak.
Demikian filsuf-filsuf lain menenggelamkan eksistensi perempuan
(bertugas melahirkan, perempuan tidak hadir dalam dinamisme sejarah).
Me-Liyan-kan Perempuan
Sejarah perundang-undangan di banyak
tempat di negara ini kerap menjadi sesuatu yang emblematis dari sebuah upaya
ratifikasi hukum yang pada intinya menyembunyikan maksud-maksud untuk
âme-liyan-kanâ perempuan. Dalam sejarah
peradaban, positivisme merupakan salah satu musuh paling hebat dari prinsip
keadilan tata hidup bersama. Positivisme
umumnya dikenal dalam sistem hukum, tetapi karena hukum gandengan dengan
prinsip nilai baik buruk, positivisme juga berurusan dengan moral. Dalam Positivisme setiap pengesahan
undang-undang adalah kemenangan, selanjutnya rentan terhadap intimidasi,
penindasan, kesewenang-wenangan, penyepelean pribadi-pribadi manusia.
Sebagai
contoh positivism, dalam RUU Porografi dan pornoaksi (RUU-PP) dimana fokusnya kerap dihubungkan dengan
goyangan pantat, pamer perut, pusar, paha, dada. Dan hampir semuanya diatribusikan pada segala
hal milik perempuan. Paling runyam dalam
RUU-PP ialah diskriminasi dan hal ini tertuju kepada perempuan, cara
berpikirnya lebih banyak dilihat dari sisi fisik yang merisaukan laki-laki,
seharusnya kalau adil apa yang ada dari laki-laki juga diperlakukan sama. Sangat rancu pemikiran nilai buruk dari
penilaian RUU-PP ini.
Para perempuan yang mengesankan dalam
Bharatayuda
Dalam pewayangan jawa, kerap
perempuan tidak menjadi lakon, perempuan kerap tampil sebagai Liyan (kecuali
srikandi). Namun demikian beberapa kisah
menampilkan âwajahâ yang mengesankan. Kakawin Baratayuda menghadirkan perempuan
dengan segala personalitasnya. Ada
perempuan membenci (Drupadi terhadap kesombongan Dursasana), mencintai
(Sitisundari terhadap Abimanyu atau Setyawati terhadap Prabu Salya), tegar dan
teguh (Kunti ketika memberi semangat kepada anak-anaknya untuk melaksanakan
dharma), berani dan berkorban (Srikandi).
Dalam kakawin Bharatayuda perempuan-perempuan secara kongkrit hadir,
melaksanakan dharma mereka, personalitas mereka nampak nyata, sementara RUU-PP
nampaknya melindungi perempuan tetapi malah menenggelamkan personalitas
perempuan , perempuan hanya identik dengan âseonggok dagingâ (tubuh) yang
memiliki karakter-karakter sensual atau yang berkaitan dengan pornografi dan
pornoaksi yang menimbulkan birahi laki-laki.
âWajahâ Perempuan
âWajahâ (kehadiran personal) dari
perempuan-perempuan dalam kakawin Baratayuda lebih menampilkan prinsip-prinsip
individual humanis. Para perempuan
menikmati kultur dependensi-independensi
terhadap budaya patriakhal, termasuk dalam mengekspresikan cintanya. Ekpresi cinta hanya mungkin dalam kebebasan.
Tidak banyak yang ambil bagian dalam perang, tetapi keterlibatan khas
masing-masing dari Kunti, Drupadi, Setyawati, Srikandi, Utari, Sitisundari, dll
mengukir simbolik rupa-rupa wajah cantik nan memesona. Sementara itu âwajahâ perempuan dalam
penyusunan RUU-APP terancam tenggelam dan hiruk pikuk perdebatan paranoid
bahasa simbolistis modernitas. Ponografi
dan pornoaksi adalah dua entitas yang menjadi sasaran telunjuk sebagai biang keladi
dari segala kebobrokan moral. Ketika
sensualitas diidentikan dengan introduksi nafsu birahi (dari laki-laki) yang menggelandangkan
mereka kebejatan, rasionalitas seakan dinisbikan. Yang ada dari perempuan:
âseonggokâ tubuh yang menjadi obyek pemuas nafsu (laki-laki). RUU-APP Berlagak
sebagai rambu-rambu moral yang melindungi âtubuhâ perempuan dari kemungkinan
manipulasi dan eksploitasi seksual, padahal perempuan kehilangan kehadirannya
/disangkal.
Kamis, 04 Juli 2019
FILSAFAT âLIYANâ
Know yourself
Filsuf
Yunani memiliki keyakinan bahwa âthe Selfâ adalah lapangan pencarian kebenaran.
âknow yourselfâ adalah langkah
pertama perjalanan manusia menggapai kebenaran.
Dengan âlangkahâ dimaksudkan kesadaran. Inilah kesadaran awal manusia
dalam membangun filsafat. âKnow yourselfâ
dalam ranah filsafat melebihi pemahaman penjelasan dari sisi sosiologis, psikologis,
psikodinamika, karena âknow yourselfâ
adalah aktvitas yang bergulat untuk mencari kebenaran. Bagaimana caranya ? Sokrates mengatakan sebagai sebuah
pengembaraan akal budi untuk memeluk
kebenaran. âKnow yourselfâ adalah
kesadaran dan kebijaksanaan itu sendiri. âKnow
yourselfâ dapat digambarkan sebuah perjalanan, pengembaraan, penziarahan
batin dan akal budi untuk menggapai kebijaksanaan ilahi. Jadi âknow yourselfâ bukan definisi diri
seperti umumnya dimengerti sebagai identitas diri, tetapi terus menerus mencari
pengetahuan dan kebijaksanaan yang tak akan membawa dirinya kepada kesia-siaan
hidup.
Liyan dalam Plato,
Aristoteles
Plato menggambarkan konkrit bahwa jika seseorang tidak belajar filsafat dapat dikatakan /dengan kata lain orang
tersebut tidak mengenal esensi realitas, orang itu bagaikan di gua gelap yang
melihat pertunjukkan di tembok yang adalah bayangan tetapi dianggap realitas,
berfilsafat orang harus keluar dari gua dan menghayati terang kehidupan.
Plato menguraikan kepentingan
filsafat berurusan dengan terminologi realitas dan bayangan, tetapi realitas
bagi terminologi Plato bukan kehidupan sehari hari, namun melukiskan
kesejatian, kebenaran, keabadian, bahkan apa yang kita bisa sentuh sehari hari .
Bagi Plato yang ada hanyalah bayangan dari realitas âideaâ yang berada
disana. Sedangkan menurut Aristoteles
manusia dalam mencari kebijaksanaan mempunyai kesadaran akan tujuan, tujuan
perbuatan manusia adalah kebaikan, dan tujuan tertinggi meraih kebahagiaan,
demikian juga tujuan dari âthe Self,â yang mana bagi Thomas Aquinas kebahagiaan
manusia dijumpai dalam Tuhan, sedangkan Agustinus menagatakan bahwa Tuhan
adalah kehausan abadi dari hati diri manusia.âknow yourselfâ bukan sekedar memasudkan makna sosiologis atau psikologis
âmengenal diri sendiri.â Melainkan mengatakan kedalaman âyang mengatasi diri sendiri.â
Atau filsafat skolastik menyebut âthe Selfâ berkarakter transenden, yang
dimaksud adalah kebijaksanaan sejati, menyatunya manusia dengan Sang
Pencipta. Lalu dimana âthe otherâ (Liyan)
dalam filsafat ?
Panorama âthe Selfâ
dalam filsafat Timur
Filsafat hinduisme India menyebut âthe
Selfâ sebagai Atman, yg juga berarti
âsoul.â Tetapi Atman bukan sekedar
istilah, Atman adalah imperceptible,
timeless, perpetual and essential self, residing within the mortal frame of
every Jiva. Atman tidak akan mati,
ia adalah subyek abadi, ia adalah yg nyata dari kita ketahui di luar
pengetahuan itu sendiri. Atman secara
intrinsik terpaut pada kesadaran murni Brahman, Roh Kosmik. Brahman adalah sumber abadi dari eksistensi,
sedangkan Atman lebih kepada jiwa setiap individu ( ada yang tidak membedakan
juga). Atman adalah âthe Selfâ yakni kesetiaan, prinsip sekaligus beyond akal budi dan segala kapasitas
batin dan pencerapan rasa. Jika âthe Selfâ adalah kepenuhan, dimana âthe otherâ ?
Arjuna
mencari âthe Selfâ
Jika
arjuna masih menjalani hidup dalam taraf badani, ragawi, masih mengenal dengan âtoolâ akal budi, yang dijumpai adalah
distingsi-distingsi reduktif, semacam hitam putih, subyek obyek, mayoritas
minoritas, dll. Sedangkan di pengetahuan
Atman tidak ada kategori musuh atau kawan, tidak ada distingsi-distingsi karena
Atman adalah kesempurnaan, kebenaran dalam diri manusia (âthe Selfâ). Sampai
sini maka alam pikiran Timur konsep âthe
Otherâ (Liyan) menjadi sebuah kemustahilan.
Liyan seolah sebuah terminologi yang tidak memiliki fondasi filosofis.
Kamu
adalah âAtman.â Orang Hindu tidak memiliki konsep Tuhan sebagai pribadi,
Tuhan adalah manusia, manusia adalah Tuhan, didalam diri manusia adalah Atman.
Asal usul Liyan
Liyan
diluar peradaban, konsep Liyan tidak mungkin karena orang lain adalah kehadiran
Tuhan. Konsep rogorus etis luar biasa
bahwa Tuhan hadir dalam sesamaku, menghadirkan kecintaan pada ciptaan. Lalu dari mana konsep Liyan muncul ? karena
tidak mungkin dalam konsep timur. Drama tentang Liyan mulai dari episode rasionalitas
politik, dalam politik manusia terbagi, terdistingsi, dan juga
tereduksi. Disini manusia mulai masuk
kategori-kategori virtual dan real sekaligus.
Plato menyebut polis dengan
lapisan-lapisan masyarakat, seperti âpemimpin,â militer,â dan âprodusen,â
mereka disebut warga negara. Dalam
pengertian ini maka bisa saja anak-anak dan perempuan tidak termasuk warga
negara, apalagi para budak dan orang asing walau mereka ada di wilayah kategori
warga negara, disinilah penyebutan Liyan, mereka orang lain, bukan bagian dari âthe
Selfâ-nya polis. Aristoteles dalam
bukunya politics, dimana buku
pertamanya mengenai kodrat manusia terdiri dari the ruling and the ruled, dalam
hal ini Aristoteles juga menggagas tentang kodrat dan polis yang identik dengan
kodrat manusia. Dalam filsafat
Aristotelian, Liyan menemukan kejelasannya karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup
bersama. Liyan dalam warga negara adalah wilayah pinggiran /tidak terhitung.
Dalam
era kolonialisme jelas mengatakan bahwa Liyan adalah sosok-sosok manusia yang
berlumuran dengan derita penindasan.
Mereka tidak memiliki aneka akses bagi keberadaan manusiawinya. Liyan
adalah subyek penderita, liyan adalah non-being dalam ranah politik kolonial.
Liyan
di zaman Modern, filsafat Cartesian
Cagito ergo sum mendeklarasikan akal budi sebagai dewa. Liyan mereka yang
terpinggirkan, liyan identik dengan keterbelakangan.
Pada
masa âEnlightenmentâ dimana zaman
menghargai intelektual, radikalisme intelektual, pencarian kodrat rasional
manusia adalah hal penting, dalam situasi ini kebenaran yang tadinya mandiri
menjadi alternatif atau pilihan bebas hati nurani saja. Dalam situasi ini pembebasan mendapat ruang,
dimana tidak perlu tunduk kepada apapun.
Liyan disini mereka yang terdesak dari benih kemajuan ilmu pengetahuan
dan sosok-sosok sederhana.
Liyan
periode ideologi yang dibayangi dengan revolusi industri /sosial maka Liyan
adalah kelompok masyarakat yang tersisih, tertindih oleh beban kehidupan dan
terpojok karena kemiskinan, struktur masyarakat sangat rentan terhadap
ketidakadilan.
Dalam
filsafat eksistensialisme adalah menjelajah kondrat manusia pada tataran dasar
sekaligus mendalam, ia mengobrak ngabrik kemapanan dan kemandekan, musuh
utamanya adalah dogmatisme dan rasionalisme.
Eksistensialisme
individu dan personalitas mengemuka, menebarkan prinsip kebebasan dan melakukan
kritik-kritik dan mengajukan ironitas kebekuan hidup sehari-hari. Bagaimana
paham Liyan dalam eksistensialisme ? sekalipun orang lain adalah neraka,
ancaman terhadap kepenuhannya, tetapi eksistensialisme tidak menghendaki the
other lenyap, ia tidak berhayal ketidakhadiran Liyan, tetap memerlukan Liyan
dalam kebersamaan tetapi fungsinya dalam makna particular, eksistensialis akan
mengaktualisasi dirinya secara ekstrem menembus batas-batas totalitas dan
komunitarianitas.
Langganan:
Postingan (Atom)
Gereja, Prapaskah dan Covid-19 ( jatim darurat bencana covid 19, 20 maret 2020) Masa Prapaskah 2020 diiringi dengan situasi ...

-
"Tetapi Aku akan hadir ditengah-tengahmu dan Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umatKU" -Imamat 26:12 Kehadiran Al...
-
PL dalam bahasa ibrani, puasa mempunyai arti âmerendahkan diri.â Orang Ibrani berpuasa pada hari pendamaian (Im. 16:29,31; 23:27...
-
MATIUS 4:1-11 Pencobaan seringkali dilihat dari sisi negatif saja, padahal kalau mau jujur bisa dlihat secara positif, misalnya men...