FILSAFAT “LIYAN”
Know yourself
Filsuf
Yunani memiliki keyakinan bahwa “the Self” adalah lapangan pencarian kebenaran.
“know yourself” adalah langkah
pertama perjalanan manusia menggapai kebenaran.
Dengan “langkah” dimaksudkan kesadaran. Inilah kesadaran awal manusia
dalam membangun filsafat. “Know yourself”
dalam ranah filsafat melebihi pemahaman penjelasan dari sisi sosiologis, psikologis,
psikodinamika, karena “know yourself”
adalah aktvitas yang bergulat untuk mencari kebenaran. Bagaimana caranya ? Sokrates mengatakan sebagai sebuah
pengembaraan akal budi untuk memeluk
kebenaran. “Know yourself” adalah
kesadaran dan kebijaksanaan itu sendiri. “Know
yourself” dapat digambarkan sebuah perjalanan, pengembaraan, penziarahan
batin dan akal budi untuk menggapai kebijaksanaan ilahi. Jadi “know yourself” bukan definisi diri
seperti umumnya dimengerti sebagai identitas diri, tetapi terus menerus mencari
pengetahuan dan kebijaksanaan yang tak akan membawa dirinya kepada kesia-siaan
hidup.
Liyan dalam Plato,
Aristoteles
Plato menggambarkan konkrit bahwa jika seseorang tidak belajar filsafat dapat dikatakan /dengan kata lain orang
tersebut tidak mengenal esensi realitas, orang itu bagaikan di gua gelap yang
melihat pertunjukkan di tembok yang adalah bayangan tetapi dianggap realitas,
berfilsafat orang harus keluar dari gua dan menghayati terang kehidupan.
Plato menguraikan kepentingan
filsafat berurusan dengan terminologi realitas dan bayangan, tetapi realitas
bagi terminologi Plato bukan kehidupan sehari hari, namun melukiskan
kesejatian, kebenaran, keabadian, bahkan apa yang kita bisa sentuh sehari hari .
Bagi Plato yang ada hanyalah bayangan dari realitas “idea” yang berada
disana. Sedangkan menurut Aristoteles
manusia dalam mencari kebijaksanaan mempunyai kesadaran akan tujuan, tujuan
perbuatan manusia adalah kebaikan, dan tujuan tertinggi meraih kebahagiaan,
demikian juga tujuan dari “the Self,” yang mana bagi Thomas Aquinas kebahagiaan
manusia dijumpai dalam Tuhan, sedangkan Agustinus menagatakan bahwa Tuhan
adalah kehausan abadi dari hati diri manusia.“know yourself” bukan sekedar memasudkan makna sosiologis atau psikologis
“mengenal diri sendiri.” Melainkan mengatakan kedalaman “yang mengatasi diri sendiri.”
Atau filsafat skolastik menyebut “the Self” berkarakter transenden, yang
dimaksud adalah kebijaksanaan sejati, menyatunya manusia dengan Sang
Pencipta. Lalu dimana “the other” (Liyan)
dalam filsafat ?
Panorama “the Self”
dalam filsafat Timur
Filsafat hinduisme India menyebut “the
Self” sebagai Atman, yg juga berarti
“soul.” Tetapi Atman bukan sekedar
istilah, Atman adalah imperceptible,
timeless, perpetual and essential self, residing within the mortal frame of
every Jiva. Atman tidak akan mati,
ia adalah subyek abadi, ia adalah yg nyata dari kita ketahui di luar
pengetahuan itu sendiri. Atman secara
intrinsik terpaut pada kesadaran murni Brahman, Roh Kosmik. Brahman adalah sumber abadi dari eksistensi,
sedangkan Atman lebih kepada jiwa setiap individu ( ada yang tidak membedakan
juga). Atman adalah “the Self” yakni kesetiaan, prinsip sekaligus beyond akal budi dan segala kapasitas
batin dan pencerapan rasa. Jika “the Self” adalah kepenuhan, dimana “the other” ?
Arjuna
mencari “the Self”
Jika
arjuna masih menjalani hidup dalam taraf badani, ragawi, masih mengenal dengan “tool” akal budi, yang dijumpai adalah
distingsi-distingsi reduktif, semacam hitam putih, subyek obyek, mayoritas
minoritas, dll. Sedangkan di pengetahuan
Atman tidak ada kategori musuh atau kawan, tidak ada distingsi-distingsi karena
Atman adalah kesempurnaan, kebenaran dalam diri manusia (“the Self”). Sampai
sini maka alam pikiran Timur konsep “the
Other” (Liyan) menjadi sebuah kemustahilan.
Liyan seolah sebuah terminologi yang tidak memiliki fondasi filosofis.
Kamu
adalah “Atman.” Orang Hindu tidak memiliki konsep Tuhan sebagai pribadi,
Tuhan adalah manusia, manusia adalah Tuhan, didalam diri manusia adalah Atman.
Asal usul Liyan
Liyan
diluar peradaban, konsep Liyan tidak mungkin karena orang lain adalah kehadiran
Tuhan. Konsep rogorus etis luar biasa
bahwa Tuhan hadir dalam sesamaku, menghadirkan kecintaan pada ciptaan. Lalu dari mana konsep Liyan muncul ? karena
tidak mungkin dalam konsep timur. Drama tentang Liyan mulai dari episode rasionalitas
politik, dalam politik manusia terbagi, terdistingsi, dan juga
tereduksi. Disini manusia mulai masuk
kategori-kategori virtual dan real sekaligus.
Plato menyebut polis dengan
lapisan-lapisan masyarakat, seperti “pemimpin,” militer,” dan “produsen,”
mereka disebut warga negara. Dalam
pengertian ini maka bisa saja anak-anak dan perempuan tidak termasuk warga
negara, apalagi para budak dan orang asing walau mereka ada di wilayah kategori
warga negara, disinilah penyebutan Liyan, mereka orang lain, bukan bagian dari “the
Self”-nya polis. Aristoteles dalam
bukunya politics, dimana buku
pertamanya mengenai kodrat manusia terdiri dari the ruling and the ruled, dalam
hal ini Aristoteles juga menggagas tentang kodrat dan polis yang identik dengan
kodrat manusia. Dalam filsafat
Aristotelian, Liyan menemukan kejelasannya karena menjadi sosok-sosok yang tidak terhitung dalam tata kelola hidup
bersama. Liyan dalam warga negara adalah wilayah pinggiran /tidak terhitung.
Dalam
era kolonialisme jelas mengatakan bahwa Liyan adalah sosok-sosok manusia yang
berlumuran dengan derita penindasan.
Mereka tidak memiliki aneka akses bagi keberadaan manusiawinya. Liyan
adalah subyek penderita, liyan adalah non-being dalam ranah politik kolonial.
Liyan
di zaman Modern, filsafat Cartesian
Cagito ergo sum mendeklarasikan akal budi sebagai dewa. Liyan mereka yang
terpinggirkan, liyan identik dengan keterbelakangan.
Pada
masa “Enlightenment” dimana zaman
menghargai intelektual, radikalisme intelektual, pencarian kodrat rasional
manusia adalah hal penting, dalam situasi ini kebenaran yang tadinya mandiri
menjadi alternatif atau pilihan bebas hati nurani saja. Dalam situasi ini pembebasan mendapat ruang,
dimana tidak perlu tunduk kepada apapun.
Liyan disini mereka yang terdesak dari benih kemajuan ilmu pengetahuan
dan sosok-sosok sederhana.
Liyan
periode ideologi yang dibayangi dengan revolusi industri /sosial maka Liyan
adalah kelompok masyarakat yang tersisih, tertindih oleh beban kehidupan dan
terpojok karena kemiskinan, struktur masyarakat sangat rentan terhadap
ketidakadilan.
Dalam
filsafat eksistensialisme adalah menjelajah kondrat manusia pada tataran dasar
sekaligus mendalam, ia mengobrak ngabrik kemapanan dan kemandekan, musuh
utamanya adalah dogmatisme dan rasionalisme.
Eksistensialisme
individu dan personalitas mengemuka, menebarkan prinsip kebebasan dan melakukan
kritik-kritik dan mengajukan ironitas kebekuan hidup sehari-hari. Bagaimana
paham Liyan dalam eksistensialisme ? sekalipun orang lain adalah neraka,
ancaman terhadap kepenuhannya, tetapi eksistensialisme tidak menghendaki the
other lenyap, ia tidak berhayal ketidakhadiran Liyan, tetap memerlukan Liyan
dalam kebersamaan tetapi fungsinya dalam makna particular, eksistensialis akan
mengaktualisasi dirinya secara ekstrem menembus batas-batas totalitas dan
komunitarianitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar