Riset Fenomenologi
Prof. Dr. F.X. Eko Armada Riyanto, Cm
EMPATI DALAM RISET FENOMENOLOGIS
Aktivitas penelitian sosial /fenomenological researchkerapkali didoktrin untuk tidak empati kepada siapa puntermasuk kepada pribadi-pribadi yang perkaranya sedang diteliti, hal ini dilakukan agar tidak bias dan tetap objektif. Empati disini bukan dalam pengertian psikologi tetapi dalam konteks riset dan disiplin ilmu fenomenologi.
Tujuan riset: “understanding human beings.” Tujuan ini memungkinkan suatu pendalaman karena pemahaman manusia tidak akan pernah tuntas, fenomenologi menjadi salah satu tools riset yang memiliki horison rasionalitas dan teoritisasi yang menantang dalam ranah sosial. Dalam fenomenologi manusia adalah subjek, mencari meaning bagi hidup manusia, penelitian tentang manusia menyebut mereka “subjek penelitian” (bukan informan atau responden).
Pertama, empati merupakan cetusan relasional. Manusia disebut manusia bukan karena wujudnya manusia tetapi karena ia berelasi dengan lainnya, kodrat kehadirannya adalah bersama yang lain. Dengan demikian relasionalitas adalah cetusan dari kodrat (natura), rasionalitas manusia bukan karena unisitasnya, melainkan karena relasionalitasnya, hal ini menunjukkan ekspresi kebenaran rasionalitasnya. Empati adalah relasionalitas yang memiliki karakter rasional, hal ini terjadi sehubungan dengan kodrat kebersamaannya dengan yang lain, empati lahir dalam kedalaman relasi, saling merespons dalam kebersamaan yang memiliki fondasi rasionalitas humanis. Dalam konteks penelitian empati adalah merespons dengan subyek penelitian, respons yang wajar dan rasional. Empati adalah kedalaman respons seorang peneliti terhadap dunia dan subjek penelitiannya, sekalipun bukan dunia yang peneliti gumuli.
Kedua, empati adalah refleksi mendalam dunia subyek . Peneliti yang tidak memasuki dengan baik subjek penelitiannya akan mengalami kegagalan memahami horison rasionalitas dan pasionitas dari subjek penelitiannya, ia akan kehilangan konsep pemaknaan simbolik subjek penelitiannya. Peneliti memiliki posibilitas yang indah ketika ia meninggalkan dunianya dan memasuki dunia subjek penelitian, narasi subjek penelitiannya dapat lebih mendalam dipahami yang berkaitan dengan “telling story” subjek penelitian. Perlu diingat dalam penelitian fenomenologis kisah bukanlah informasi, karena kisah adalah cetusan subyek penelitian itu sendiri. Narasi dalam penelitian fenomenologis adalah kodrat dari segala yang dimaksudkan sebagai pengetahuan. Subjek penelitian “Self” hanya menjadi mungkin didalami dalam narasi, dan narasi dapat dikatakan sebagai “kebenaran.” Peneliti harus hati-hati karena tidak boleh merasa mampu mengerti semua subjek penelitian karena kebenaran tidak pernah selesai dalam deskripsi. Dalam penelitian fenomenologis, empati memungkinkan peneliti mendalami subjek dalam narasi, peneliti seolah “menjadi” seperti subjek dalam mengisahkan ulang pengalaman tersebut.
Ketiga, empati memungkinkan “genuitas” relasi. Empati memungkinkan ekplorasi diri yang lebih genuine. Peneliti diajak memiliki kesadaran siapa dirinya sehingga dapat memposisi diri sedemikian rupa dalam penelitian, tanpa disadari si peneliti juga masuk dalam explorasi diri sendiri. Ada berbagai macam resiko ketika memasuki penelitian, tetapi dari situ peneliti dapat dinilai peneliti sejati atau hanya asyik mencari informasi. Empati menjadi sebuah pertaruhan eksplorasi diri dalam penelitian, suatu pertaruhan dan konflik diri, misalnya penelitian pekerja seks komersial. Genuitas diri dalam penelitian terletak pada kesetiaan metodologis dan keberanian menjaga kompleksitas persoalannya. Namun demikian jangan sampai empati dari konsekwensi penelitian merangsek tataran batin yang destruktif, perlu kematangan dalam mengelola empati penelitian. Peneliti juga terlihat genuitas dalam humanistiknya, si peneliti benar-benar terlibat didalam penelitiannya, keterlibatan yang bukan euphoria tetapi keterlibatan yang eksploratif. Peneliti juga harus mempunyai perasaan hormat kepada apa yang ditelitinya sehingga tidak melakukan komentar yang gampangan tetapi peneliti fenomenologis menyimpan kisah yang didengarnya dengan rasa hormat dan empati.
Keempat, empati sebagai strategi “one of them”dalam penelitian sosial.
Peneliti yang dapat mengobservasi dengan “being one of them,” berimplikasi pada keakraban dan keseharian yg kondusif, penelitiannya memiliki metodologi interpritif yang lebih kompleks untuk tidak hanya bertumpu pada simbolisme interpritif. Menjadi “one of them” lebih menunjukkan sebagai seorang teman, sahabat, rekan, singkat kata adalah tindakan mengosongkan diri dan membiarkan diri sendiri mendapat aneka masukkan dari subjek penelitiannya.
Kelima, empati memberi “pesona” pengalaman keseharian yang terdalam.
Heidegger dalam bahasa “being and Time,” “Being- in- the- world,” “sorge,” “dasein” menunjukkan penjelasan bahwa keautentikan manusia bukan pada “self,” tetapi kepada kebersamaan, perhatian, cinta dan empatinya dengan yang lain. Khususnya kata “Sorge” adalah manusia memesona ketika ia empati terhadap yang lain, karena dengan demikian manusia dan pengalaman memperhatikan yang lain adalah eksistensi itu sendiri. Heidegger juga menyumbang sebuah pemahaman filosofis tentang “life-world,” yang menjadi pertaruhan dalam penelitian sosial, disini bukan bicara dunia fisik melainkan kedalaman pengalaman manusia, dimana manusia menghadirkan dirinya secara menyeluruh, sehingga menjadai konteks pembangunan rasionalitas dan pasionitas sekaligus. Disamping ‘Life world,” Heidegger mengulirkan terminologi “everyday-life” (hidup keseharian), Edmun Husserl terpukau oleh kebenaran bahwa untuk memahami manusia maka simaklah kesehariannya, observasi dan dengarkan ungkapan bahasa komunikasi dan jeritan duka dan kecemasannya.
Keenam, empati menumbuhkan kepercayaan baik dalam diri si peneliti maupun relasi keduanya antara peneliti dan pribadi-pribadi yang perkaranya sedang diteliti. Disini empati bukan perasan iba, tetapi relasionalitas itu sendiri, relasi ini seharunya memungkinkan peneliti berada pada fleksibilitas, tidak baku dengan aneka asumsinya, subjek penelitian juga tidak merasa diinterogasi, dengan demikian subjek penelitian bisa melakukan “story telling ” tanpa terpaksa, tanpa artifisialitas disposisi. Dalam relasi dengan subjek penelitian berlaku prinsip kesederajatan dan agalitas. Dijelaskan pergumulan memahami akan pemahaman objektif, sehubungan dengan pertanyaan apakah empati dapat menjadi penghalang objektivitas. Jika mengacu pada kebenaran yang dijelaskan Descartes bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan memiliki pengandaian yang tidak bisa disangkal, yaitu metodologi. Kebenaran baru akan lahir dari kesangsian kita akan kesadaran kesangsian kebenaran lama, kebenaran itu adalah perkara metodologis. Empati akan menjadi penghalang objektivitas jka empati tersebut menjelma keroposnya metodologi, empati bukan sudut pandang ilmiah, tetapi komunikasi inter-subyektif. Empati penghalang objektivitas? Sebenarnya bukan pada personal, tetapi kepada tatanan teoritis, ketika peneliti terburu-buru menyimpulkan sehingga objektivitas penelitiannya menjadi rapuh.
Empati justru menjadi konteks yang dekat dengan “objektivitas,” karena empati memiliki kedekatan dengan subyek penelitinya, hal ini dimungkinkan karena ada pertemuan yang intens. Peneliti harus ingat akan komplesitas pergumulan manusia, oleh karenanya tidak mempermudah /menyederhanakan persoalan.
Genuitas penelitian adalah ketika penelitian memiliki jati diri seorang ilmuwan baru, tidak genuitas ketika kurang memberi perpektif baru dalam mengelola tema atau metodologi yang digunakan. Tidak guinitas adalah peneliti yang tidak melakukan penelitiannya dengan maksimal.
“Bias “ dalam penelitian terjadi ketika kebenaran relaitas “diambil alih” oleh peneliti dari sudut pandang peneliti untuk kepentingannya dan pesan sponsor proyek penelitian. Yang dimaksud bias dalam penelitian, pertama adalah ketika terjadi penyimpangan kebenaran dalam penelitian, hal ini bisa terjadi jika kebenaran hanya dilihat dari satu perpektif sehingga kebenaran tampil parsial. Bias bisa dicegah apabila pengetahuan dimaknai fenomenologi-“intensional.” Bias seringkali terjadi jika ada sikap-sikap yang kurang intens dalam penelitian. Kedua, bias yang mungkin terjadi dalam penelitian biasanya berkaitan dengan “kepentingan,” baik secara naïf dari si peneliti sendiri karena kurang waktu atau kurang sabar, maupun dari pihak luar atau sebuah institusi yang memasok modal. Ketiga, bias dan kedudukan si peneliti dan pribadi-pribadi yang perkaranya menjadi obyek penelitian: terjadi kesimpangsiuran. “Peneliti,” “subjek penelitian,” dan “objek penelitian,” menjadi bias jika terjadi kekacauan, ketidakpercayaan, pengabaikan tugas tanggungjawab penelitian, dalam kasus-kasus serius mengkhianati subjek penelitian, para peneliti telah mengambil alih suara dan pandangan para subjek untuk kepentingan lain, diluar apa yang dimaksud dalam penelitian itu sendiri. Penelitian yang bias adalah penelitian yang tidak valid dan tidak plausible.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar