Hans-Georg
Gadamer (900-2002)
Hermenutika muncul pada abad ke-16,
pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari
tulisan-tulisan klasik yang orisinil.
Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat tentang
interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien),
teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti yang dikatakan Richard E.
Palmer, yakni : Pertama,
hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada
makna teks, Kedua, hermeneutika
dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad
ke-18. Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman
linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu
dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik
radikal dari sudut pandang filologi. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia
(geisteswissenschaften). Kelima, hermeneutika yang dicetuskan
oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika
(akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam
cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and
“time” yang disebut “hermeneutika dasein.” Keenam, Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu
pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari
ikonoklasme.[1]
Definisi
Fenomenologi hermeneutika
Fenomenologi dan hermeneutika adalah
sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana
dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada
perbedaan-perbedaan. Fenomenologi
memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan
hermeneutika sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni
dalam menginterpretasi teks-teks historis.[2] Menurut Ricouer yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi,
seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu
teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis
fenomenologi. Hermeneutika fenomenologi
mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati
bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang
tersembunyi.[3]
Untuk memahami hermeneutika
fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis
representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer. Demikian pandangan mereka :
Gadamer dalam filsafat
hermeneutika-nya berpijak pada asas eksistensial manusia, ia menolak bentuk
kepastian /obyektif dimana penekannya
pada logika dialektik antara pembaca dan teks, hal ini sama dengan pendahulunya
Heidegger (eksistensialis). Dalam
hermeneutika pemahaman yang benar adalah yang mengarah kepada tingkat
ontologis, bukan metodologis, kebenaran ditemukan melalui dialektika sehingga
bahasa (simbol) adalah hal yang sang pengting dalam dialog. Ada empat kunci hermeneutika Gadamer, yakni :
pertama, kesadaran “situasi hermeneutik.” Kedua, memperhatikan pra-pemahaman
pembaca dalam mendialogkan teks dan konteks, pembaca harus terus merevisi
supaya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca menggabungkan antara dua
horizon, horizon pembaca sendiri dan horizon teks, mengatasi ketegangan yang
ada pada dua horizon, relasi keduanya disebut Gadamer adalah
“lingkaran-hermeneutik.” Keempat, mengkemukakan makna dari teks (bukan makna
obyektif ) yang berarti.[7]
Fenomenologi dan hermeneutika
merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai karakterisktik
tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi menghidupkan pengalaman
sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan interpretasi teks. Keduanya bisa saling berhubungan, sekaligus
mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya masing-masing. Hal ini semakin jelas dengan
pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam tulisan ini
dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi hermeneutika. Ketiga tokoh diatas memberikan pandangannya
dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika dengan penekanan yang
berbeda-beda. Martin Heidegger lebih
dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah bersifat ontologi artinya langsung
kepada kenyataan yang dialami, kesadaran akan fakta keberadaan lebih penting
daripada pengetahuan manusia.
Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah yang sudah ada mendahului
kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan untuk menangkap makna. Hans Georg Gadamer yang menekankan dialogis,
pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan metodologis, dengan
dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam teks, karenanya
bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog. Gadamer sangat menekankan pertemuan antara
pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam
hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika
tetapi bertolak dari eksistensial manusia.
Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan
oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam
penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal. Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan
makna plural dalam teks adalah penting melihat
tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat
dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek
), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya
masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran tetapi
dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak menganggap
secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis dan
dinamis. Dengan karakteristik
fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian
sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.
[2]
https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[4] hermeneutika
Gadamer adalah koheren antara keseluruhan (whole) dan bagian (parts).
Selain itu ada kesepakatan tema yang dipahami, baik dari teks atau di pembaca
sudah memiliki pemahaman, disini terjadi proses hermeneutika.
[5] Dasar hermeneutika
Gadamer filsafat praktis, memaparkan pengetahuan secara seni melalui retorika
dan hermeneutika juga seni memaparkan teks, teks bisa dalam arti luas, realitas
itu sendiri. band.
https://rumahfilsafat.com/2009/09/21/hermeneutika-hans-georg
gadamer/?blogsub=confirming#subscribe-blog
[6]
https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[7] https://hirmanjayadi.blogspot.com/2016/02/pemikiran-hermeneutika-martin-heidegger.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar