Jumat, 21 Juni 2019

Martin Heidegger (1889-1976)

Martin Heidegger (1889-1976) [1] 
           

Hermenutika muncul pada abad ke-16, pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari tulisan-tulisan klasik yang orisinil.  Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat tentang interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien), teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti yang dikatakan Richard E. Palmer, yakni : Pertama, hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada makna teks, Kedua, hermeneutika dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad ke-18.  Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik radikal dari sudut pandang filologi.  Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia (geisteswissenschaften).  Kelima, hermeneutika yang dicetuskan oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika (akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and “time” yang disebut “hermeneutika dasein.”  Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari ikonoklasme.[2]


Definisi Fenomenologi hermeneutika

            Fenomenologi dan hermeneutika adalah sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada perbedaan-perbedaan.  Fenomenologi memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutika sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni dalam menginterpretasi teks-teks historis.[3]  Menurut Ricouer  yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi.  Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang tersembunyi.[4]
            Untuk memahami hermeneutika fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer.  Demikian pandangan mereka :

           
Martin Heidegger dikenal dengan pernyataannya tentang “Being” dan “Time,” hal ini sehubungan dengan keberadaan manusia secara fenomenologi dalam dunia, dan hal ini menjadi pemikiran filsafat dari sang “ada.” Menurut Heidegger keberadaan manusia adalah penting dibandingkan keberadaan lainnya (dasein), manusia harus keluar dari dirinya dan berada diantara keberadaan sekelilingnya, yang dinyatakan sebagai eksistensi. Being and time bicara persoalan makna “yang ada,” bukan sehubungan dengan pengetahuan keberdaaan subyek dan obyek, tetapi suatu yang ada berada dalam ke-ber-ada-an lainnya (a being within being).  Hermeneutika dimengerti dalam exegese tentang “yang ada,” dimana tidak terbatas waktu /kepadatan waktu karena keberadaannya ada pada masa lampau, sekarang ( yang perlu ditafirkan makna dalam tindakan dan keseharian) dan yang akan datang. Heidegger sangat perhatian terhadap hermeneutika untuk mengungkapkan kebenaran, yang didekati melalui “being” dan “time” sebagai fenomenologi dasein (adanya manusia).  Fenomenologi Dasein dapat dikatakan hermeneutika dalam makna kata yang sangat orisinal dan menunjuk hal sehubungan dengan interpretasi, hermeneutika sebagai metodologi interpretasi bagi kemanusiaan dimana fungsi ontologis utama adalah interpretasi.[5] Heidegger menyatakan bahwa hermeneutika bukan sebagai aturan penafsiran teks, atau metodologi tertentu, tetapi sebagai eksplisitasi dari eksistensi manusia sendiri, dan berupaya merumuskan ontologi dari pengertian. [6]

Sekalipun pemikiran Heidegger sangat menunjukkan fenomenologis, tetapi dia berbeda dengan fenomenologis Husserl (bapak fenomenologi), dimana perbedaannya adalah Husserl bersifat epistemologis yakni pengetahuan tentang dunia, sedangkan Heidegger lebih kepada fenomenologi sebagai ontologi yang bicara tentang kenyataan itu sendiri, dimana fakta keberadaan adalah persoalan mendasar daripada kesadaran dan pengetahuan manusia.[7]

            Fenomenologi dan hermeneutika merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai karakterisktik tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi menghidupkan pengalaman sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan interpretasi teks.  Keduanya bisa saling berhubungan, sekaligus mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya masing-masing.  Hal ini semakin jelas dengan pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam tulisan ini dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi hermeneutika.  Ketiga tokoh diatas memberikan pandangannya dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika dengan penekanan yang berbeda-beda.   Martin Heidegger lebih dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah bersifat ontologi artinya langsung kepada kenyataan yang dialami, kesadaran akan fakta keberadaan lebih penting daripada pengetahuan manusia.  Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah yang sudah ada mendahului kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan untuk menangkap makna.  Hans Georg Gadamer yang menekankan dialogis, pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan metodologis, dengan dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam teks, karenanya bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog.  Gadamer sangat menekankan pertemuan antara pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika tetapi bertolak dari eksistensial manusia.  Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal.  Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan makna plural dalam teks adalah penting melihat  tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek ), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran tetapi dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak menganggap secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis dan dinamis.  Dengan karakteristik fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.






[2] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


[3] https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[4] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html
[5] https://draft.blogger.com/blogger.g?blogID=2440227538333957516&pli=1
[6] https://hirmanjayadi.blogspot.com/2016/02/pemikiran-hermeneutika-martin-heidegger.html
[7] https://kalamenau.blogspot.com/2011/05/fenomenologi-dan-hermeneutika-sebuah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gereja, Prapaskah dan Covid-19 ( jatim darurat bencana covid 19, 20 maret 2020) Masa Prapaskah 2020 diiringi dengan situasi ...