Jumat, 21 Juni 2019

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005) [1]
           
            Hermenutika muncul pada abad ke-16, pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari tulisan-tulisan klasik yang orisinil.  Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat tentang interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien), teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti yang dikatakan Richard E. Palmer, yakni : Pertama, hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada makna teks, Kedua, hermeneutika dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad ke-18.  Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik radikal dari sudut pandang filologi.  Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia (geisteswissenschaften).  Kelima, hermeneutika yang dicetuskan oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika (akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and “time” yang disebut “hermeneutika dasein.”  Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari ikonoklasme.[2]

Definisi Fenomenologi hermeneutika
            Fenomenologi dan hermeneutika adalah sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada perbedaan-perbedaan.  Fenomenologi memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutika sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni dalam menginterpretasi teks-teks historis.[3]  Menurut Ricouer  yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi.  Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang tersembunyi.[4]
            Untuk memahami hermeneutika fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer.  Demikian pandangan mereka :

           

            Hermeneutik bagi Recoeur  menggali makna yg terdapat dalam teks dan simbol sehubungan dengan makna yang tersembunyi dengan cara terus menerus.  Kenapa terus menerus? Karena interpretasi dalam teks tidak bersifat tunggal dan mutlak melainkan multi interpretasi.  Dengan demikian maka tidak ada kebenaran tunggal hasil dari interpreatasi teks karena harus selalu kontekstual, karenanya hermeneutik harus bersifat kritis, dan bersifat dinamis.[5]  Tugas hermeneutik semakin berat karena membaca teks dari dalam makna yang terkandung, namun tidak masuk dalam teks tersebut, bagaimana caranya harus dapat memecahkan adanya pertentangan subyektif dan obyektif.  Teks mempunyai otonomiya pada atas maksud dari pengarang, situasi dari teks itu berada dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.  Rekontektualisasi adalah ketika teks tersebut membuka diri dan dibaca oleh subyek   yang berbeda-beda.[6]
            Pandangan Ricoeur menjanjikan sebuah epistemologi baru bagi ilmu sosial, dimana hermeneutic sebagai kajian teks bahwa obyek dari kajian ilmu sosial dapat dikatakan sebagai teks sehingga kajian dapat berupa kajian interpretatif .

            Fenomenologi dan hermeneutika merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai karakterisktik tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi menghidupkan pengalaman sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan interpretasi teks.  Keduanya bisa saling berhubungan, sekaligus mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya masing-masing.  Hal ini semakin jelas dengan pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam tulisan ini dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi hermeneutika.  Ketiga tokoh diatas memberikan pandangannya dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika dengan penekanan yang berbeda-beda.   Martin Heidegger lebih dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah bersifat ontologi artinya langsung kepada kenyataan yang dialami, kesadaran akan fakta keberadaan lebih penting daripada pengetahuan manusia.  Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah yang sudah ada mendahului kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan untuk menangkap makna.  Hans Georg Gadamer yang menekankan dialogis, pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan metodologis, dengan dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam teks, karenanya bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog.  Gadamer sangat menekankan pertemuan antara pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika tetapi bertolak dari eksistensial manusia.  Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal.  Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan makna plural dalam teks adalah penting melihat  tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek ), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran tetapi dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak menganggap secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis dan dinamis.  Dengan karakteristik fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.










[1]  Menurut Joseph Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics menempatkan Ricoeur diluar tiga tradisi pemikiran hermeneutik, yakni hermeneutika metodologis, filosofis dan hermeneutik kritis. Bleicher menyatakan bahwa pemikiran Ricoeur dianggap menjembatani antara hermeneutika tradisi metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing di wakili oleh Emilio Betti dan Hans-Georg Gadamer. Di satu sisi hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dari pembaca, disisi lain ia  diposisi seperti Gadamer bahwa keinginan awal penulis tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks. Band.
https://terasubermesch.blogspot.com/2015/08/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


[3] https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[4] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html
[5] band. https://arnoldbiagosvd.blogspot.com/2007/06/paul-ricouers-hermeneutic-phenomenology.html
[6] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gereja, Prapaskah dan Covid-19 ( jatim darurat bencana covid 19, 20 maret 2020) Masa Prapaskah 2020 diiringi dengan situasi ...