Hermenutika muncul pada abad ke-16,
pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari
tulisan-tulisan klasik yang orisinil.
Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat
tentang interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien), teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti
yang dikatakan Richard E. Palmer, yakni : Pertama,
hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada
makna teks, Kedua, hermeneutika
dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad
ke-18. Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman
linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu
dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik
radikal dari sudut pandang filologi. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia
(geisteswissenschaften). Kelima, hermeneutika yang dicetuskan
oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika
(akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam
cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and
“time” yang disebut “hermeneutika dasein.” Keenam, Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu
pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari
ikonoklasme.[2]
Definisi
Fenomenologi hermeneutika
Fenomenologi dan hermeneutika adalah
sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana
dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada
perbedaan-perbedaan. Fenomenologi memberikan
pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutika
sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni dalam
menginterpretasi teks-teks historis.[3] Menurut Ricouer yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi,
seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu
teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis
fenomenologi. Hermeneutika fenomenologi
mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati
bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang
tersembunyi.[4]
Untuk memahami hermeneutika
fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis
representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer. Demikian pandangan mereka :
Tokoh ketiga dalam hermeneutika fenomenologi adalah Paul Recoeur. Sama dengan tokoh sebelumnya, posisi hermeneutik fenomenologi adalah mempertanyakan hubungan subyek- obyek, bagi Recoeur berkenaan dengan teks yang diinterpretasikan adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks, dimana makna teks dapat diperoleh dari teks dalam bentuk, sejarah, pengalaman membaca, refleksi diri, dan seterusnya. Oleh karenanya penting bahwa proses pencarian dilakukan terus menerus dan harus terbuka. Pemahaman akan teks bukan dalam upaya reproduksi tetapi rekreatif dan produktif. Disini peran subyek sangat penting dan harus menampilkan keaktualitasan atau kekinian kehidupannya sendiri dan pesan dari obyek yg ditafsirkan.
Hermeneutik bagi Recoeur menggali makna yg terdapat dalam teks dan
simbol sehubungan dengan makna yang tersembunyi dengan cara terus menerus. Kenapa terus menerus? Karena interpretasi
dalam teks tidak bersifat tunggal dan mutlak melainkan multi interpretasi. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran
tunggal hasil dari interpreatasi teks karena harus selalu kontekstual,
karenanya hermeneutik harus bersifat kritis, dan bersifat dinamis.[5] Tugas hermeneutik semakin berat karena
membaca teks dari dalam makna yang terkandung, namun tidak masuk dalam teks
tersebut, bagaimana caranya harus dapat memecahkan adanya pertentangan
subyektif dan obyektif. Teks mempunyai
otonomiya pada atas maksud dari pengarang, situasi dari teks itu berada dan
untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Rekontektualisasi adalah ketika teks tersebut membuka diri dan dibaca
oleh subyek yang berbeda-beda.[6]
Pandangan Ricoeur menjanjikan sebuah
epistemologi baru bagi ilmu sosial, dimana hermeneutic sebagai kajian teks
bahwa obyek dari kajian ilmu sosial dapat dikatakan sebagai teks sehingga
kajian dapat berupa kajian interpretatif .
Fenomenologi dan hermeneutika
merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai
karakterisktik tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi
menghidupkan pengalaman sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan
interpretasi teks. Keduanya bisa saling
berhubungan, sekaligus mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya
masing-masing. Hal ini semakin jelas
dengan pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam
tulisan ini dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi
hermeneutika. Ketiga tokoh diatas
memberikan pandangannya dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika
dengan penekanan yang berbeda-beda.
Martin Heidegger lebih dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah
bersifat ontologi artinya langsung kepada kenyataan yang dialami, kesadaran
akan fakta keberadaan lebih penting daripada pengetahuan manusia. Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah
yang sudah ada mendahului kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan
untuk menangkap makna. Hans Georg Gadamer
yang menekankan dialogis, pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan
metodologis, dengan dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam
teks, karenanya bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog. Gadamer sangat menekankan pertemuan antara
pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam
hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika
tetapi bertolak dari eksistensial manusia.
Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan
oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam
penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal. Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan
makna plural dalam teks adalah penting melihat
tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat
dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek
), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya
masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran
tetapi dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak
menganggap secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis
dan dinamis. Dengan karakteristik
fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian
sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.
[1] Menurut Joseph
Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics menempatkan Ricoeur diluar
tiga tradisi pemikiran hermeneutik, yakni hermeneutika metodologis, filosofis
dan hermeneutik kritis. Bleicher menyatakan bahwa pemikiran Ricoeur dianggap
menjembatani antara hermeneutika tradisi metodologis dan tradisi filosofis yang
masing-masing di wakili oleh Emilio Betti dan Hans-Georg Gadamer. Di satu sisi
hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang
memiliki jarak ruang dari pembaca, disisi lain ia diposisi seperti Gadamer
bahwa keinginan awal penulis tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam
memahami teks. Band.
https://terasubermesch.blogspot.com/2015/08/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[3]
https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[5] band. https://arnoldbiagosvd.blogspot.com/2007/06/paul-ricouers-hermeneutic-phenomenology.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar