Senin, 24 Juni 2019


 Riset Fenomenologi 


Prof. Dr. F.X. Eko Armada Riyanto, Cm  




EMPATI DALAM RISET FENOMENOLOGIS 

Aktivitas penelitian sosial /fenomenological researchkerapkali didoktrin untuk tidak empati kepada siapa puntermasuk kepada pribadi-pribadi yang perkaranya sedang diteliti, hal ini dilakukan agar tidak bias dan tetap objektif.  Empati disini bukan dalam pengertian psikologi tetapi dalam konteks riset dan disiplin ilmu fenomenologi.
Tujuan riset: “understanding human beings. Tujuan ini memungkinkan suatu pendalaman karena pemahaman manusia tidak akan pernah tuntas, fenomenologi menjadi salah satu tools riset yang memiliki horison rasionalitas dan teoritisasi yang menantang dalam ranah sosial.  Dalam fenomenologi manusia adalah subjek, mencari meaning bagi hidup manusia, penelitian tentang manusia menyebut mereka “subjek penelitian” (bukan informan atau responden).

Pertama, empati merupakan cetusan relasional.  Manusia disebut manusia bukan karena wujudnya manusia tetapi karena ia berelasi dengan lainnya, kodrat kehadirannya adalah bersama yang lain.  Dengan demikian relasionalitas adalah cetusan dari kodrat (natura), rasionalitas manusia bukan karena unisitasnya, melainkan karena relasionalitasnya, hal ini menunjukkan ekspresi kebenaran rasionalitasnya.  Empati adalah relasionalitas yang memiliki karakter rasional, hal ini terjadi sehubungan dengan kodrat kebersamaannya dengan yang lain, empati lahir dalam kedalaman relasi, saling merespons dalam kebersamaan yang memiliki fondasi rasionalitas humanis. Dalam konteks penelitian empati adalah merespons dengan subyek penelitian, respons yang wajar dan rasional. Empati adalah kedalaman respons seorang peneliti terhadap dunia dan subjek penelitiannya, sekalipun bukan dunia yang peneliti gumuli.
Kedua, empati adalah refleksi mendalam dunia subyek .  Peneliti yang tidak memasuki dengan baik subjek penelitiannya akan mengalami kegagalan memahami horison rasionalitas dan pasionitas dari subjek penelitiannya, ia akan kehilangan konsep pemaknaan simbolik subjek penelitiannya.  Peneliti memiliki posibilitas yang indah ketika ia meninggalkan dunianya dan memasuki dunia subjek penelitian, narasi subjek penelitiannya dapat lebih mendalam dipahami yang berkaitan dengan “telling story” subjek penelitian.  Perlu diingat dalam penelitian fenomenologis kisah bukanlah informasi, karena kisah adalah cetusan subyek penelitian itu sendiri.  Narasi dalam penelitian fenomenologis adalah kodrat dari segala yang dimaksudkan sebagai pengetahuan.  Subjek penelitian “Self” hanya menjadi mungkin didalami dalam narasi, dan narasi dapat dikatakan sebagai “kebenaran.”  Peneliti harus hati-hati karena tidak boleh merasa mampu mengerti semua subjek penelitian karena kebenaran tidak pernah selesai dalam deskripsi.  Dalam penelitian fenomenologis, empati memungkinkan peneliti mendalami subjek dalam narasi, peneliti seolah “menjadi” seperti subjek dalam mengisahkan ulang pengalaman tersebut.

Ketiga, empati memungkinkan “genuitas” relasi.  Empati memungkinkan ekplorasi diri yang lebih genuinePeneliti diajak memiliki kesadaran siapa dirinya sehingga dapat memposisi diri sedemikian rupa dalam penelitian, tanpa disadari si peneliti juga masuk dalam explorasi diri sendiri.   Ada berbagai macam resiko ketika memasuki penelitian, tetapi dari situ peneliti dapat dinilai peneliti sejati atau hanya asyik mencari informasi.   Empati menjadi sebuah pertaruhan eksplorasi diri dalam penelitian, suatu pertaruhan dan konflik diri, misalnya penelitian pekerja seks komersial.  Genuitas diri dalam penelitian terletak pada kesetiaan metodologis dan keberanian menjaga kompleksitas persoalannya.  Namun demikian jangan sampai empati dari konsekwensi penelitian merangsek tataran batin yang destruktif, perlu kematangan dalam mengelola empati penelitian.  Peneliti juga terlihat genuitas dalam humanistiknya, si peneliti benar-benar terlibat didalam penelitiannya, keterlibatan yang bukan euphoria tetapi keterlibatan yang eksploratif.  Peneliti juga harus mempunyai perasaan hormat kepada apa yang ditelitinya sehingga tidak melakukan komentar yang gampangan tetapi peneliti fenomenologis menyimpan kisah yang didengarnya dengan rasa hormat dan empati.
Keempat, empati sebagai strategi “one of them”dalam penelitian sosial.  
Peneliti yang dapat mengobservasi dengan “being one of them,” berimplikasi pada keakraban dan keseharian yg kondusif, penelitiannya memiliki metodologi interpritif yang lebih kompleks untuk tidak hanya bertumpu pada simbolisme interpritif. Menjadi “one of them” lebih menunjukkan sebagai seorang teman, sahabat, rekan, singkat kata adalah tindakan mengosongkan diri dan membiarkan diri sendiri mendapat aneka masukkan dari subjek penelitiannya.

Kelima, empati memberi “pesona” pengalaman keseharian yang terdalam.  

Heidegger dalam bahasa “being and Time,”  “Being- in- the- world,” “sorge,” “dasein menunjukkan penjelasan bahwa keautentikan manusia bukan pada “self,” tetapi kepada kebersamaan, perhatian, cinta dan empatinya dengan  yang lain.  Khususnya kata “Sorge” adalah manusia memesona ketika ia empati terhadap yang lain, karena dengan demikian manusia dan pengalaman memperhatikan yang lain adalah eksistensi itu sendiri. Heidegger juga menyumbang sebuah pemahaman filosofis tentang “life-world,” yang menjadi pertaruhan dalam penelitian sosial, disini bukan bicara dunia fisik melainkan kedalaman pengalaman manusia, dimana manusia menghadirkan dirinya secara menyeluruh, sehingga menjadai konteks pembangunan rasionalitas dan pasionitas sekaligus.  Disamping ‘Life world,” Heidegger mengulirkan terminologi “everyday-life” (hidup keseharian), Edmun Husserl terpukau oleh kebenaran bahwa untuk memahami manusia maka simaklah kesehariannya, observasi dan dengarkan ungkapan bahasa komunikasi dan jeritan duka dan kecemasannya.








Keenam, empati menumbuhkan kepercayaan baik dalam diri si peneliti maupun relasi keduanya antara peneliti dan pribadi-pribadi yang perkaranya sedang diteliti.  Disini empati bukan perasan iba, tetapi relasionalitas itu sendiri, relasi ini seharunya memungkinkan peneliti berada pada fleksibilitas, tidak baku dengan aneka asumsinya, subjek penelitian juga tidak merasa diinterogasi, dengan demikian subjek penelitian bisa melakukan “story telling ” tanpa terpaksa, tanpa artifisialitas disposisi.  Dalam relasi dengan subjek penelitian berlaku prinsip kesederajatan dan agalitas.  Dijelaskan pergumulan memahami akan pemahaman objektif, sehubungan dengan pertanyaan apakah empati dapat menjadi penghalang objektivitas.  Jika mengacu pada kebenaran yang dijelaskan Descartes bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan memiliki pengandaian yang tidak bisa disangkal, yaitu metodologi.  Kebenaran baru akan lahir dari kesangsian kita akan kesadaran kesangsian kebenaran lama, kebenaran itu adalah perkara metodologis. Empati akan menjadi penghalang objektivitas jka empati tersebut menjelma keroposnya metodologi, empati bukan sudut pandang ilmiah, tetapi komunikasi inter-subyektif.  Empati penghalang objektivitas?  Sebenarnya bukan pada personal, tetapi kepada tatanan teoritis, ketika peneliti terburu-buru menyimpulkan sehingga objektivitas penelitiannya menjadi rapuh.
Empati justru menjadi konteks yang dekat dengan “objektivitas,” karena empati memiliki kedekatan dengan subyek penelitinya, hal ini dimungkinkan karena ada pertemuan yang intens.  Peneliti harus ingat akan komplesitas pergumulan manusia, oleh karenanya tidak mempermudah /menyederhanakan persoalan.
Genuitas penelitian adalah ketika penelitian memiliki jati diri seorang ilmuwan baru, tidak genuitas ketika kurang memberi perpektif baru dalam mengelola tema atau metodologi yang digunakan.  Tidak guinitas adalah peneliti yang tidak melakukan penelitiannya dengan maksimal.
“Bias “ dalam penelitian terjadi ketika kebenaran relaitas “diambil alih” oleh peneliti dari sudut pandang peneliti untuk kepentingannya dan pesan sponsor proyek penelitian.  Yang dimaksud bias dalam penelitian, pertama adalah ketika terjadi penyimpangan kebenaran dalam penelitian, hal ini bisa terjadi jika kebenaran hanya dilihat dari satu perpektif sehingga kebenaran tampil parsial.  Bias bisa dicegah apabila pengetahuan dimaknai fenomenologi-“intensional.” Bias seringkali terjadi jika ada sikap-sikap yang kurang intens dalam penelitian.  Kedua, bias yang mungkin terjadi dalam penelitian biasanya berkaitan dengan “kepentingan,” baik secara naïf dari si peneliti sendiri karena kurang waktu atau kurang sabar, maupun dari pihak luar atau sebuah institusi yang memasok modal.  Ketiga, bias dan kedudukan si peneliti dan pribadi-pribadi yang perkaranya menjadi obyek penelitian: terjadi kesimpangsiuran.  “Peneliti,” “subjek penelitian,” dan “objek penelitian,” menjadi bias jika terjadi kekacauan, ketidakpercayaan, pengabaikan tugas tanggungjawab penelitian, dalam kasus-kasus serius mengkhianati subjek penelitian, para peneliti telah mengambil alih suara dan pandangan para subjek untuk kepentingan lain, diluar apa yang dimaksud dalam penelitian itu sendiri.  Penelitian yang bias adalah penelitian yang tidak valid dan tidak plausible.





















1

Jumat, 21 Juni 2019

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005

Jean Paul Gustave Ricoeur (1913-2005) [1]
           
            Hermenutika muncul pada abad ke-16, pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari tulisan-tulisan klasik yang orisinil.  Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat tentang interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien), teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti yang dikatakan Richard E. Palmer, yakni : Pertama, hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada makna teks, Kedua, hermeneutika dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad ke-18.  Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik radikal dari sudut pandang filologi.  Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia (geisteswissenschaften).  Kelima, hermeneutika yang dicetuskan oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika (akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and “time” yang disebut “hermeneutika dasein.”  Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari ikonoklasme.[2]

Definisi Fenomenologi hermeneutika
            Fenomenologi dan hermeneutika adalah sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada perbedaan-perbedaan.  Fenomenologi memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutika sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni dalam menginterpretasi teks-teks historis.[3]  Menurut Ricouer  yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi.  Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang tersembunyi.[4]
            Untuk memahami hermeneutika fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer.  Demikian pandangan mereka :

           

            Hermeneutik bagi Recoeur  menggali makna yg terdapat dalam teks dan simbol sehubungan dengan makna yang tersembunyi dengan cara terus menerus.  Kenapa terus menerus? Karena interpretasi dalam teks tidak bersifat tunggal dan mutlak melainkan multi interpretasi.  Dengan demikian maka tidak ada kebenaran tunggal hasil dari interpreatasi teks karena harus selalu kontekstual, karenanya hermeneutik harus bersifat kritis, dan bersifat dinamis.[5]  Tugas hermeneutik semakin berat karena membaca teks dari dalam makna yang terkandung, namun tidak masuk dalam teks tersebut, bagaimana caranya harus dapat memecahkan adanya pertentangan subyektif dan obyektif.  Teks mempunyai otonomiya pada atas maksud dari pengarang, situasi dari teks itu berada dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.  Rekontektualisasi adalah ketika teks tersebut membuka diri dan dibaca oleh subyek   yang berbeda-beda.[6]
            Pandangan Ricoeur menjanjikan sebuah epistemologi baru bagi ilmu sosial, dimana hermeneutic sebagai kajian teks bahwa obyek dari kajian ilmu sosial dapat dikatakan sebagai teks sehingga kajian dapat berupa kajian interpretatif .

            Fenomenologi dan hermeneutika merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai karakterisktik tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi menghidupkan pengalaman sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan interpretasi teks.  Keduanya bisa saling berhubungan, sekaligus mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya masing-masing.  Hal ini semakin jelas dengan pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam tulisan ini dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi hermeneutika.  Ketiga tokoh diatas memberikan pandangannya dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika dengan penekanan yang berbeda-beda.   Martin Heidegger lebih dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah bersifat ontologi artinya langsung kepada kenyataan yang dialami, kesadaran akan fakta keberadaan lebih penting daripada pengetahuan manusia.  Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah yang sudah ada mendahului kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan untuk menangkap makna.  Hans Georg Gadamer yang menekankan dialogis, pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan metodologis, dengan dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam teks, karenanya bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog.  Gadamer sangat menekankan pertemuan antara pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika tetapi bertolak dari eksistensial manusia.  Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal.  Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan makna plural dalam teks adalah penting melihat  tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek ), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran tetapi dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak menganggap secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis dan dinamis.  Dengan karakteristik fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.










[1]  Menurut Joseph Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics menempatkan Ricoeur diluar tiga tradisi pemikiran hermeneutik, yakni hermeneutika metodologis, filosofis dan hermeneutik kritis. Bleicher menyatakan bahwa pemikiran Ricoeur dianggap menjembatani antara hermeneutika tradisi metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing di wakili oleh Emilio Betti dan Hans-Georg Gadamer. Di satu sisi hermeneutika adalah kajian untuk menyingkap makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dari pembaca, disisi lain ia  diposisi seperti Gadamer bahwa keinginan awal penulis tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks. Band.
https://terasubermesch.blogspot.com/2015/08/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
[2] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


[3] https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[4] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html
[5] band. https://arnoldbiagosvd.blogspot.com/2007/06/paul-ricouers-hermeneutic-phenomenology.html
[6] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


Hans-Georg Gadamer

Hans-Georg Gadamer (900-2002)


            

Hermenutika muncul pada abad ke-16, pada saat reformasi dimana Marthin Luther mendapatkan kembali arti dari tulisan-tulisan klasik yang orisinil.  Hermeneutika sendiri dapat dikatakan sebagai suatu teori / filsafat tentang interpretasi makna (dari bahasa yunani hermeneuien), teori ini mengalami beberapa perkembangan , seperti yang dikatakan Richard E. Palmer, yakni : Pertama, hermeneutika dalam eksegese Alkitab awalnya, untuk memberi penafsiran pada makna teks, Kedua, hermeneutika dipakai sebagai kaidah filologis, lahirlah filologi klasik pada abad ke-18.  Ketiga, Hermeneutika sebagai ilmu yang menekankan kepada pemahaman linguistik, disini Schleiermacher memberikan pemahaman hermeneutic sebagai ilmu dan seni, dalam hal ini bisa dikatakan hermeneutika dalam implikasi kritik radikal dari sudut pandang filologi.  Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi semua disiplin yang menguasai seni, aksi dan tulisan manusia (geisteswissenschaften).  Kelima, hermeneutika yang dicetuskan oleh Martin Heidegger dimana memahami ontologis dari fenomenologis hermeneutika (akan dijelaskan lebih lanjut) dimana menggunakan metodologi fenomenologi dalam cara berada manusia dalam keseharian di dunia. Analisanya disebut “being” and “time” yang disebut “hermeneutika dasein.”  Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, situasi yang dicetuskan oleh tokoh Paul Ricouer (1965) mengacu pada hermeneutika sebagai fungsi eksegese dimana menemukan makna dari ikonoklasme.[1]

Definisi Fenomenologi hermeneutika

            Fenomenologi dan hermeneutika adalah sebuah teori sehubungan dengan pengalaman, lebih spesifik lagi adalah bagaimana dihubungkan antara kata-kata dan pengalaman, disana ada relasi, namun juga ada perbedaan-perbedaan.  Fenomenologi memberikan pandangan tentang pengalaman-pengalaman yang dihidupkan, sedangkan hermeneutika sangat berhubungan dengan interpretasi tekstual, suatu karya seni dalam menginterpretasi teks-teks historis.[2]  Menurut Ricouer  yang adalah tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer, hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi.  Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subyek-obyek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari obyektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup obyek yang tersembunyi.[3]
            Untuk memahami hermeneutika fenomenologi kita dapat belajar dari beberapa tokohnya yang menurut penulis representatif untuk menjelaskan yakni : Martin Heidegger, Paul Ricouer dan Gadamer.  Demikian pandangan mereka :


           
Hermeneutik bagi Gadamer aktivitas interpretasi yang tanpa akhir dan menyeluruh,[4] penelitian kualitatif akan menginterpretasi didasarkan penelitian atas nilai, minat, tujuan dan peneliti sendiri secara menyeluruh.[5]  Gadamer melihat hermeneutika sebagai seni dan bukan proses mekanik.  Dalam hermeneutik harus menghasilkan esensi yang dalam yang dapat diungkapkan.   Pemahaman, waktu dan interprestasi adalah proses hermeneutik, bahkan penerapan juga adalah proses dan pendekatan hermeneutic itu sendiri.  Penafsir harus mampu menerapkan pesan dalam teks /karya seni dalam konteks waktu yang sebenarnya. Tokoh lainnya setuju dengan Gadammer, yakni Paul Ricouer menyatakan adanya pluralitas makna, hidup itu sendiri perlu interpretasi dan interpretasi memunculkan makna-makna yang tersembunyi dalam teks atau karya seni, misalnya setiap kata-kata juga adalah simbol yang perlu dinterpretasikan.[6]
            Gadamer dalam filsafat hermeneutika-nya berpijak pada asas eksistensial manusia, ia menolak bentuk kepastian /obyektif  dimana penekannya pada logika dialektik antara pembaca dan teks, hal ini sama dengan pendahulunya Heidegger (eksistensialis).  Dalam hermeneutika pemahaman yang benar adalah yang mengarah kepada tingkat ontologis, bukan metodologis, kebenaran ditemukan melalui dialektika sehingga bahasa (simbol) adalah hal yang sang pengting dalam dialog.  Ada empat kunci hermeneutika Gadamer, yakni : pertama, kesadaran “situasi hermeneutik.” Kedua, memperhatikan pra-pemahaman pembaca dalam mendialogkan teks dan konteks, pembaca harus terus merevisi supaya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca sendiri dan horizon teks, mengatasi ketegangan yang ada pada dua horizon, relasi keduanya disebut Gadamer adalah “lingkaran-hermeneutik.” Keempat, mengkemukakan makna dari teks (bukan makna obyektif ) yang berarti.[7]

            Fenomenologi dan hermeneutika merupakan teori yang cukup penting atau popular dewasa ini, keduanya mempunyai karakterisktik tersendiri namun dapat saling berhubungan, fenomenologi menghidupkan pengalaman sedangkan hermeneutik lebih kepada persoalan-persoalan interpretasi teks.  Keduanya bisa saling berhubungan, sekaligus mempunyai perbedaan, kekuaatan dan kelemahannya masing-masing.  Hal ini semakin jelas dengan pandangan-pandangan yang dikemukan oleh para tokoh-tokohnya, dalam tulisan ini dibatasi dengan tiga tokoh yang cukup dikenal dalam fenomenologi hermeneutika.  Ketiga tokoh diatas memberikan pandangannya dalam menghubungkan fenomenologi dan hermeneutika dengan penekanan yang berbeda-beda.   Martin Heidegger lebih dikenal fenomenologi yang dijelaskan adalah bersifat ontologi artinya langsung kepada kenyataan yang dialami, kesadaran akan fakta keberadaan lebih penting daripada pengetahuan manusia.  Hermeneutik dialektik dimana pemahaman adalah yang sudah ada mendahului kognisi, oleh karenanya penafsiran ulang diperlukan untuk menangkap makna.  Hans Georg Gadamer yang menekankan dialogis, pemahaman benar jika ada pada level ontologis, bukan metodologis, dengan dialektika maka akan mencapai makna yang terkandung dalam teks, karenanya bahasa menjadi alat yang sangat penting dalam dialog.  Gadamer sangat menekankan pertemuan antara pembaca dan teks, dimana masing-masing saling berelasi dan mempengaruhi, dalam hal ini ia menolak akan bentuk obyektif yang menekankan logika dialektika tetapi bertolak dari eksistensial manusia.  Demikian juga dengan tokoh Ricoeur yang mirip dengan apa yang dinyatakan oleh Gadamer, khususnya dalam pandangan bahwa adanya multi makna dalam penafsiran, tidak bisa hanya kebenaran mutlak atau tunggal.  Dari ketiga tokoh ini maka untuk menemukan makna plural dalam teks adalah penting melihat  tentang keberadaan manusia itu sendiri dalam waktu keberadaannya (dapat dikatakan sebagai subyek, walaupun tidak selalu dilihat hubungan subyek-obyek ), kontekstual /kekinian, dialog antara pembaca dan teks dalam kompleksitasnya masing-masing, tidak menempatkan secara mutlak akan pengetahuan /kebenaran tetapi dapat terus digali untuk menemukan interpretatif yang baru, tidak menganggap secara mekanik dalam interpretasi tetapi lebih bersifat seni, kritis dan dinamis.  Dengan karakteristik fenomenologi hermeneutik dari ketiga tokoh ini maka penelitian-penelitian sosial menjadi kreatif dan inovatif dan kontekstual.











[1] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html


[2] https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[3] https://mochcholil912.blogspot.com/2014/06/teori-hermeneutika-paul-ricoeur.html
[4] hermeneutika Gadamer adalah koheren antara keseluruhan (whole) dan bagian (parts). Selain itu ada kesepakatan tema yang dipahami, baik dari teks atau di pembaca sudah memiliki pemahaman, disini terjadi proses hermeneutika.
[5] Dasar hermeneutika Gadamer filsafat praktis, memaparkan pengetahuan secara seni melalui retorika dan hermeneutika juga seni memaparkan teks, teks bisa dalam arti luas, realitas itu sendiri. band. 
https://rumahfilsafat.com/2009/09/21/hermeneutika-hans-georg gadamer/?blogsub=confirming#subscribe-blog
[6] https://sarwono.staff.uns.ac.id/2010/07/23/fenomenologi-dan-hermeneutika-3/
[7] https://hirmanjayadi.blogspot.com/2016/02/pemikiran-hermeneutika-martin-heidegger.html

Gereja, Prapaskah dan Covid-19 ( jatim darurat bencana covid 19, 20 maret 2020) Masa Prapaskah 2020 diiringi dengan situasi ...