Perempuan dan “Liyan”
“One
is not born, but made a woman,”
adalah ungkapan filsuf Simone de Beauvoir yang menggambarkan kondisi perempuan
dalam societas, menurutnya perempuan itu tidak (pernah) ada sampai dia “dibuat
demikian” oleh societasnya. Diskursus
filosofi Liyan tidak terpisahkan dari eksistensi perempuan karena dalam sejarah
peradaban manusia perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki, dipandang
protogonis dan diperlakukan sebagai antagonis. Perjalanan societas modern masih menempatkan
perempuan dalam dunia Liyan, dunia ketertindasan dan keterpurukan. Ratifikasi perundang-undangan kerap
menceburkan permpuan dalam kubangan ketidakpastian mengenai hak-hak atas tubuh
dan eksistensinya.
Wajah Liyan Sumiati
Dalam kasus penganiayaan Sumiati di
Saudi, kaki hampir lumpuh, muka sembab, bibir digunting, dll Ini menggambarkan Sumiati sebagai subyek yang
ingin dilenyapkan martabatnya. Filsuf
Hegel menegur, dikatakan setiap kesadaran manusia selalu mengharapkan kematian
Liyan (Other).
Situasi
komunitas kita /negri baru memandang Sumiati setelah babak belur, di negri
sendiri, TKI identik yang tersisihkan, karena keterampilan dan kemampuan mereka
bekerja tidak diperhatikan sehingga rentan terhadap penganiyaan. Sebenarnya situasi perempuan sudah lama ada
dalam keterkungkungan, pendidikan bukan hak mereka, mereka dianjurkan cepat
mencari laki-laki, kemudian menjadi pendamping laki-laki /suami, menjadi manusia yang tidak pernah mandiri,
manusia yang tergantung dan terikat, mereka berada di pinggiran kehidupan
sehari-hari. Belum lagi mereka rentan
terhadap kekerasan, manipulasi, perbudakan, penganiyaan dalam rumah tangga.
Narasi Shamelin
Narasi Shamelin juga narasi seorang
Liyan, seorang pembantu rumah tangga yang bergelantung dengan seutas tali dari
apartemen tinggi karena mendapat perlakuan yang tidak manusiawi jika ada
kesalahan dan haknya (gaji) tidak diberikan selama 5 bulan. Banyak kasus serupa
dalam wajah humanitas kita. Emmanuel Levinas mengingatkan prinsip etis
kehadiran manusia adalah sebagai subyek, tidak ada ruang /tenggang waktu
manusia diperlakuan sebagai obyek. Shamelin
adalah potret manusia Liyan yang tertindas.
Menggembok Kesadaran
Perempuan sebagai Liyan tidak saja
terjadi pada zaman Kartini, tetapi juga saat ini ketika dirinya “digembok”
dalam kungkungan kultur maskulinistik
Kartinilah simbol kebebasan, dimana ia meneriakkan kesadaran akan keterpurukkan
dari lubang keniscayaan adat istiadat.
Kartini dapat dikatakan pemicu kesadaran maju, kesadaran kebebasan. Dalam agama perlakuan perempuan sama saja,
perempuan malah diperlakukan dalam “perlindungan” maskulinitas, agama malah
mundur dalam prinsip-prinsip kebebasan.
Simbolisme
gembok megidentifikasi seakan-akan perempuan nyaman, padahal perempuan sudah tereduksi
pada tubuhnya, dipersempit hanya yang menimbulkan nafsu (perempuan identik
dengan alat kelaminnya), sekalipun perempuan dilabelkan pekerja keras, namun
sehari-harinya mereka direndahkan, dipermalukan. Perempuan dalam kerja kerasnya diasosiakan
dengan kehinaan (derita TKW), goyangannya diasosiasikan dengan kepornoan,
kemolekkan tubuh dan kecantikan dilihat sebagai introduksi bahaya kriminalitas. Dimana subyektifitas perempuan?
“The second sex”
Liyan adalah the second sex. Perempuan
disebut demikian karena sex, ia berbeda tetapi juga dibedakan dari
laki-laki. The second sex disini bukan dalam pandangan perilaku seksual,
kategori sosial dalam peran fungsional kemasyarkatan, tetapi dalam kategori
ontologis keseharian dan transcendental sekaligus. Para filusuf banyak menempatkan perempuan
dalam mahluk yang menggembol beban seksual, bahkan perempuan masuk kategori
wilayah tidak jelas (tidak dipehitungkan dalam area maskulinitas). Plato menempatkan polis tidak ada dalam area
perempuan, perempuan bukan warga negara, polis identik dengan laki-laki,
perempuan ada dalam kerumunan para budak.
Demikian filsuf-filsuf lain menenggelamkan eksistensi perempuan
(bertugas melahirkan, perempuan tidak hadir dalam dinamisme sejarah).
Me-Liyan-kan Perempuan
Sejarah perundang-undangan di banyak
tempat di negara ini kerap menjadi sesuatu yang emblematis dari sebuah upaya
ratifikasi hukum yang pada intinya menyembunyikan maksud-maksud untuk
“me-liyan-kan” perempuan. Dalam sejarah
peradaban, positivisme merupakan salah satu musuh paling hebat dari prinsip
keadilan tata hidup bersama. Positivisme
umumnya dikenal dalam sistem hukum, tetapi karena hukum gandengan dengan
prinsip nilai baik buruk, positivisme juga berurusan dengan moral. Dalam Positivisme setiap pengesahan
undang-undang adalah kemenangan, selanjutnya rentan terhadap intimidasi,
penindasan, kesewenang-wenangan, penyepelean pribadi-pribadi manusia.
Sebagai
contoh positivism, dalam RUU Porografi dan pornoaksi (RUU-PP) dimana fokusnya kerap dihubungkan dengan
goyangan pantat, pamer perut, pusar, paha, dada. Dan hampir semuanya diatribusikan pada segala
hal milik perempuan. Paling runyam dalam
RUU-PP ialah diskriminasi dan hal ini tertuju kepada perempuan, cara
berpikirnya lebih banyak dilihat dari sisi fisik yang merisaukan laki-laki,
seharusnya kalau adil apa yang ada dari laki-laki juga diperlakukan sama. Sangat rancu pemikiran nilai buruk dari
penilaian RUU-PP ini.
Para perempuan yang mengesankan dalam
Bharatayuda
Dalam pewayangan jawa, kerap
perempuan tidak menjadi lakon, perempuan kerap tampil sebagai Liyan (kecuali
srikandi). Namun demikian beberapa kisah
menampilkan “wajah” yang mengesankan. Kakawin Baratayuda menghadirkan perempuan
dengan segala personalitasnya. Ada
perempuan membenci (Drupadi terhadap kesombongan Dursasana), mencintai
(Sitisundari terhadap Abimanyu atau Setyawati terhadap Prabu Salya), tegar dan
teguh (Kunti ketika memberi semangat kepada anak-anaknya untuk melaksanakan
dharma), berani dan berkorban (Srikandi).
Dalam kakawin Bharatayuda perempuan-perempuan secara kongkrit hadir,
melaksanakan dharma mereka, personalitas mereka nampak nyata, sementara RUU-PP
nampaknya melindungi perempuan tetapi malah menenggelamkan personalitas
perempuan , perempuan hanya identik dengan “seonggok daging” (tubuh) yang
memiliki karakter-karakter sensual atau yang berkaitan dengan pornografi dan
pornoaksi yang menimbulkan birahi laki-laki.
“Wajah” Perempuan
“Wajah” (kehadiran personal) dari
perempuan-perempuan dalam kakawin Baratayuda lebih menampilkan prinsip-prinsip
individual humanis. Para perempuan
menikmati kultur dependensi-independensi
terhadap budaya patriakhal, termasuk dalam mengekspresikan cintanya. Ekpresi cinta hanya mungkin dalam kebebasan.
Tidak banyak yang ambil bagian dalam perang, tetapi keterlibatan khas
masing-masing dari Kunti, Drupadi, Setyawati, Srikandi, Utari, Sitisundari, dll
mengukir simbolik rupa-rupa wajah cantik nan memesona. Sementara itu “wajah” perempuan dalam
penyusunan RUU-APP terancam tenggelam dan hiruk pikuk perdebatan paranoid
bahasa simbolistis modernitas. Ponografi
dan pornoaksi adalah dua entitas yang menjadi sasaran telunjuk sebagai biang keladi
dari segala kebobrokan moral. Ketika
sensualitas diidentikan dengan introduksi nafsu birahi (dari laki-laki) yang menggelandangkan
mereka kebejatan, rasionalitas seakan dinisbikan. Yang ada dari perempuan:
“seonggok” tubuh yang menjadi obyek pemuas nafsu (laki-laki). RUU-APP Berlagak
sebagai rambu-rambu moral yang melindungi “tubuh” perempuan dari kemungkinan
manipulasi dan eksploitasi seksual, padahal perempuan kehilangan kehadirannya
/disangkal.